BERITABANDUNG.id – Puncak dan Bandung Utara bukan sekadar lanskap indah, melainkan juga cermin kekacauan tata ruang yang sudah berlangsung bertahun-tahun.
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi memulai gebrakan—membongkar bangunan liar, menyegel vila mewah, hingga menyeret perusahaan daerah ke sorotan publik. Tapi publik bertanya: setelah gebrakan, lalu apa?
Kini sorotan mengarah pada satu institusi: Satpol PP Jawa Barat. Sebagai garda depan penegakan Perda dan ketertiban umum, publik ingin tahu: apakah mereka siap membersihkan Jawa Barat dari tambang ilegal, vila ilegal, dan pelanggaran tata ruang yang telanjur sistemik?
Mengutip wawancara West Java Today, Kepala Satpol PP Jawa Barat, Tulus Arifan, untuk menggali langkah konkret ke depan dan sejauh mana dukungan mereka terhadap misi besar Gubernur KDM.
Setelah pembongkaran bangunan Hibisch dan penyegelan 26 bangunan ilegal di kawasan Puncak, apa langkah konkret Satpol PP Jabar selanjutnya? Apakah ada target lanjutan dalam waktu dekat?
Pada prinsipnya Satpol PP Jawa Barat bersama Satpol PP Kabupaten/Kota akan terus bersinergi untuk melaksanakan tugas menegakkan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.
Saat ini, kami bersama Satpol PP Kabupaten/Kota sedang melakukan inventarisasi terhadap dugaan para pelanggar perda, terutama yang berkaitan dengan alih fungsi lahan. Kami juga melakukan koordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup, yang sebelumnya telah melakukan tindakan penyegelan di beberapa lokasi di kawasan Puncak.
Target kami saat ini adalah melakukan penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran yang terjadi untuk dilakukan penetapan pelanggaran perda berdasarkan fakta dan kondisi objek yang diperiksa. Apabila ditemukan pelanggaran, kami akan melakukan penindakan.
Kami juga sangat terbuka terhadap partisipasi publik dalam pengawasan. Informasi dari masyarakat sangat membantu dalam mempercepat respon penanganan dugaan pelanggaran perda dan perkada.
Bagaimana Satpol PP memastikan bangunan yang telah disegel tidak kembali beroperasi diam-diam? Apakah ada sistem pengawasan lapangan yang diterapkan?
Setiap penetapan pelanggaran oleh Satpol PP menghasilkan peringatan yang menjadi dasar kepatuhan dan kewajiban dari pihak terduga pelanggar untuk mengikuti peraturan.
Tindakan yang kami lakukan berupa sanksi administrasi, yang meliputi pencabutan izin, peninjauan kembali, denda, penutupan, hingga pembongkaran. Jika tidak ada kepatuhan setelah sanksi administrasi dijatuhkan, maka statusnya akan naik menjadi sanksi pidana berupa tindak pidana ringan.
Pelanggar yang sudah kami tindak akan kami awasi secara berkala sesuai SOP, untuk melihat apakah ada itikad baik dari yang bersangkutan untuk mematuhi peraturan. Apabila tidak ada, maka proses penindakan akan dilanjutkan sampai pada tindakan yustisi.
Sebagai informasi, syarat dasar untuk mendapatkan perizinan berusaha mencakup:
a. Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR), yang dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan RTRW atau Rencana Detail Tata Ruang.
b. Persetujuan lingkungan, yang rekomendasinya dikeluarkan oleh perangkat daerah yang membidangi lingkungan hidup, sesuai dengan kewenangannya.
c. Persetujuan Bangunan Gedung (dulu disebut IMB).
Dalam melaksanakan kegiatan, Satpol PP Provinsi Jawa Barat selalu berkoordinasi dengan perangkat daerah terkait serta Satpol PP kabupaten/kota. Dengan begitu, pengawasan lapangan dapat dilakukan secara sinergis.
Kawasan Bandung Utara dan Puncak selama ini dikenal sebagai “zona abu-abu” dalam penataan ruang. Apakah Satpol PP sudah memetakan titik-titik pelanggaran baru? Berapa jumlahnya?
Terkait kawasan Bandung Utara, pengawasan terhadap objek kesesuaian kebijakan tata ruang dan wilayah secara teknis hingga sanksi administratif menjadi bagian dari pembinaan, pengawasan, dan pengendalian oleh Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang (DBMPR) Provinsi Jawa Barat.
Apabila kepatuhan tidak terpenuhi, barulah menjadi peran Satpol PP untuk penanganan melalui ketentuan pidana.
Saat ini kami sedang melakukan pemetaan titik-titik pelanggaran bersama DBMPR, termasuk juga dugaan pelanggaran baru yang muncul belakangan ini.
Terkait tambang galian C ilegal, publik banyak bertanya: apa batas kewenangan Satpol PP dalam menertibkan tambang tanpa izin, mengingat izin pertambangan kini di tangan pusat?
Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Usaha Pertambangan, ketentuan kewenangan untuk penindakan pidana berada di tangan Polri dan Inspektur Pertambangan (PPNS yang membidangi pertambangan).
Meski demikian, upaya yang kami lakukan di Satpol PP Jawa Barat bersifat administratif dan non-yustisiil. Ini merupakan bentuk pendekatan restoratif, yaitu penghentian sementara kegiatan hingga pelaku usaha melengkapi perizinan. Ini adalah langkah humanis namun tegas untuk mendorong pelaku mengikuti ketentuan perizinan yang berlaku—dengan catatan bahwa syarat dasar seperti PKKPR sudah terpenuhi.
Tindakan sementara ini mengacu pada Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketenteraman, Ketertiban Umum, dan Perlindungan Masyarakat.
Untuk Satpol PP Provinsi Jawa Barat, acuan hukumnya adalah Perda Nomor 5 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Perda Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Ketenteraman, Ketertiban Umum, dan Perlindungan Masyarakat.
Kasatpol PP Jabar, Tulus Arifan saat melaksanakan penghentian aktivitas pertambangan illegal yang berlokasi di Desa Jati, Kec.Bojongpicung dan Desa Nanggalamekar, Kec. Ciranjang, Kabupaten Cianjur (Kamis, 17/04/2025).
Satpol PP sering dianggap hanya mampu menyegel, tapi tak bisa mengeksekusi penuh pembongkaran. Apa sebenarnya hambatan utama? Tekanan politik, hukum, atau lemahnya koordinasi antarinstansi?
Dalam pelaksanaan kewenangan, Satpol PP memang berperan sebagai koordinator dan eksekutor terhadap dugaan pelanggaran perda dalam ranah pidana. Namun, untuk sanksi administratif seperti pembongkaran dan penutupan, itu merupakan kewenangan dari dinas teknis.
Fungsi pembinaan, pengawasan, dan pengendalian berada di bawah dinas teknis tersebut. Nah, ketersediaan anggaran di dinas teknis untuk melaksanakan pembongkaran inilah yang sering menjadi kendala utama. Ini yang membuat proses eksekusi kerap terhambat.
Apakah Satpol PP akan membentuk tim gabungan lintas sektor untuk penertiban skala besar? Bila ya, kapan akan dimulai dan kawasan mana yang diprioritaskan?
Kolaborasi lintas sektor sangat diperlukan dalam penanganan dan penindakan pelanggaran oleh Satpol PP. Namun tentunya harus tetap mengacu pada regulasi dan SOP yang ada, termasuk melalui Pergub yang menguatkan peran dan fungsi kami.
Adapun kawasan yang menjadi prioritas penindakan adalah kawasan konservasi, kawasan hidrologi, dan wilayah yang merupakan kawasan kelestarian lingkungan. Ini yang akan kami jaga terlebih dahulu
Terakhir, apa komitmen pribadi Anda sebagai Kepala Satpol PP Jabar dalam mengawal visi tegas Gubernur KDM soal penataan ruang dan supremasi hukum di provinsi ini?
Provinsi Jawa Barat sangat mendukung iklim investasi yang sehat dengan memberikan garansi kemudahan serta keamanan dalam lingkungan usaha.
Namun kami juga menegaskan bahwa investasi harus tetap mengedepankan kelestarian lingkungan demi masa depan Jawa Barat.
Sebagai Kepala Satpol PP, saya berkomitmen untuk terus meningkatkan kualitas dan kuantitas dalam pelaksanaan tugas—baik dalam penegakan perda dan perkada, maupun dalam penyelenggaraan ketertiban dan ketenteraman umum.
Bukan Sebatas Aksi Simbolik
Di tanah Sunda, alam bukan sekadar ruang hidup—ia adalah pusaka. Gunung-gunung menjulang, sungai-sungai mengalir, dan lembah-lembah sunyi menyimpan hikmah leluhur. Merusaknya berarti mengkhianati bukan hanya hukum, tapi juga nilai-nilai kasepuhan dan amanah langit.
Gubernur Dedi Mulyadi telah membuka jalan, menyingkap borok pelanggaran tata ruang yang selama ini ditutup rapi. Kini, obor itu dipegang oleh mereka yang ditugasi menegakkan—di garda terdepan, Kepala Satpol PP Jawa Barat, Tulus Arifian.
Di tangannya, publik menggantung harapan: bahwa penertiban bukan sebatas aksi simbolik, melainkan gerak berkelanjutan. Bahwa hukum bukan selebar kertas, tapi sebenar-benarnya penjaga tatanan.
Tulus Arifan pun menjawab dengan komitmen. Tapi seperti kata pepatah Sunda, “Leuweung ruksak ku balad nu teu nyaho jalan,” hutan bisa rusak bukan karena musuh, tapi karena orang dalam yang kehilangan arah. Maka tanggung jawab ini tak ringan, dan sejarah akan mencatat: siapa yang setia, siapa yang alpa.
Karena membiarkan pelanggaran adalah bentuk paling sunyi dari pengkhianatan. Dan melindungi ruang hidup adalah ibadah yang tak selalu berpanggung—tapi berpahala.