BERITABANDUNG.id – Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung akan merekrut sebanyak 1.597 pendamping pemilah sampah untuk memperkuat sistem pengelolaan sampah berbasis sumber di setiap wilayah.
Langkah ini menjadi bagian dari upaya besar Pemkot dalam menekan volume sampah yang masuk ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti dan memastikan pengelolaan sampah berjalan efektif di tingkat masyarakat.
Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan menjelaskan, perekrutan ini merupakan implementasi dari strategi pengurangan sampah sejak dari rumah tangga.
Setiap Rukun Warga (RW) di Kota Bandung akan memiliki satu pendamping khusus yang bertugas mengawal proses pemilahan sampah.
“Kami sedang menyusun rencana termasuk struktur untuk merekrut 1.597 orang, satu RW satu orang untuk menjadi pendamping pemilahan,” ujar Farhan di Kelurahan Cihapit, Jumat 10 Oktober 2025.
Menurutnya, pendamping pemilah ini akan memiliki peran penting dalam membimbing warga agar lebih disiplin memilah sampah organik dan anorganik.
Ia mengungkapkan, pemilahan menjadi kunci utama dalam menyelesaikan persoalan sampah yang selama ini membebani Kota Bandung.
“Secara teori memang ada sepuluh jenis sampah, tapi secara praktik cukup dua dulu: organik dan anorganik. Yang organik tidak akan kita angkut, harus habis di RW,” ungkapnya.
Farhan menuturkan, sistem ini akan memastikan sampah organik dapat diolah langsung di tingkat kelurahan atau RW, baik menjadi kompos maupun pakan maggot, sementara sampah anorganik bisa disalurkan melalui bank sampah.
“Pusat pengolahannya ada di kelurahan, agar sampah tidak menumpuk di TPS. Jadi setiap kelurahan juga wajib memiliki lahan pengolahan,” katanya.
Saat ini, Pemkot Bandung tengah berupaya menekan sisa timbulan sampah yang mencapai 500 ton per hari. Dari jumlah itu, sekitar 190 ton telah berhasil dikelola di tingkat wilayah, sementara sisanya masih dikirim ke TPA.
“Dari data terakhir, volume sampah ke TPA sudah berkurang sekitar 300 ton. Tapi karena ada pengurangan kuota dari provinsi, maka tambahan 300 ton ini harus kita olah bersama di tingkat kota,” ungkap Farhan.
Salah satu tantangan terbesar adalah resistensi warga terhadap lokasi pengolahan sampah, terutama karena faktor bau dan kenyamanan lingkungan.
“Risikonya memang ada resistensi masyarakat karena bau dan penguapan. Ini yang mesti kita kelola bersama,” tuturnya.
Farhan menyebut, keberhasilan program ini membutuhkan kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat.
“Kuncinya ada di kolaborasi. Kalau semua RW bergerak, kita bisa kurangi sampah di sumbernya. Target kami, tidak ada lagi sampah yang tersisa di kota. Semua diolah habis di tingkat RW dan kelurahan,” pungkasnya.