BERITABANDUNG.id – Tawa riang wisatawan tak lagi terdengar di panggung Saung Angklung Udjo. Pandemi Corona membuat pengelola sanggar seni terpaksa untuk menghentikan pertunjukan.
Pertunjukkan Saung Angklung Udjo (SAU) yang meriah, atraktif dan melibatkan puluhan orang, tak sebanding dengan jumlah pengunjung yang datang untuk menyaksikan. Dari rata-rata 2.000 kunjungan perhari, merosot tajam ke angka 20 kunjungan per minggu.
Para penerus Saung Angklung Udjo tak mau putus asa dalam melestarikan kesenian angklung yang dirintis oleh Udjo Ngalagena sejak 1966. Saat ini, 10 bersaudara itu tengah mencari cara agar angklung yang telah diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia tetap lestari.
Seperti diketahui, Saung Angklung Udjo saat ini terancam gulung tikar. Sejak COVID-19 merebak pada Maret 2020 lalu, jumlah pengunjung yang datang ke Saung Angklung Udjo merosot tajam.
“Niat dari saya, kita tidak hidup dari budaya saja. Kita harus punya skill lain untuk membiayai diri sendiri, yang paling dekat adalah mengolah tanah, mengolah air sehingga walau tidak punya uang, tapi punya padi agar bisa makan, tidak punya uang tapi ada lauk pauk dari ikan yang sederhana,” kata anak kedua Udjo Ngalagena, Sam Udjo saat ditemui,
Sam sendiri saat ini tengah berupaya untuk membuat set angklung yang diperuntukkan untuk keluarga. Di dalamnya juga tersedia tutorial atau cara bermain angklung dan sederetan lagu yang bisa dimainkan.
“Kalau kerja itu work from home, sekarang playing angklung from home,” kata Sam yang baru merampungkan buku ‘Seluk Beluk Angklung Diatonis’ bersama dua dosen UPI itu.
Pria yang pernah memperkenalkan langsung angklung di markas Persatuan Bangsa-Bangsa pada tahun 2018 itu, juga tengah mengulik pembuatan pot atau media tanam bunga hias dari bambu.
“Sekarang bunga hias juga sedang digandrungi, kita pot yang lebih ramah lingkungan dan estetik. Tanamannya bisa tanaman hias, atau juga tanaman pangan,” katanya.
Direktur Utama PT SAU Taufik Hidayat mengatakan pandemi ini membuat Saung Angklung Udjo kesulitan untuk melakukan seluruh kegiatan. Biasanya, dalam sekali penampilan sedikitnya 35 orang tampil. Belum lagi para perajin angklung dan karyawan lainnya yang bila dijumlahkan bisa mencapai 600 orang lebih.
“Ya bisa saja tutup karena tidak ada biaya untuk menggaji karyawan, bagaimana kami bisa buka. Pengunjungnya yang biasa sehari 2.000 per hari, sekarang 20 orang per minggu saja sulit. Saya memahami sekali orang ketakutan, datang bergerombol, regulasi pemerintah, jadi saya memaklumi kondisi yang mengharuskan kita tidak ada panggung dulu,” katanya.
Ia berharap ada titik terang soal pelestarian angklung di Saung Angklung Udjo ini. “Kalau di bulan-bulan pertama kan memang bisa tertutup 100 persen karena kita masih ada tabungan, sekarang mau habis karena sudah tahun, rencana ke depan saya tetap optimis. Kita akan berjuang untuk tetap hidup,” katanya.
“Saya masih akan berjuang, soal ada dana yang bisa masuk atau seperti apanya kita tidak tahu,” ucap Taufik yang merupakan putra kesembilan dari Udjo. (Red)